LAHIRNYA
AGAMA HINDU BUDDHA DI INDIA, TEORI MASUK DAN BERKEMBANGNYA HINDU BUDDHA SERTA
PENINGGALANNYA DI INDONESIAA
SEJARAH INDONESIA
LAHIRNYA
AGAMA HINDU-BUDDHA DI INDIA, TEORI MASUK DAN BERKEMBANGNYA HINDU-BUDDHA SERTA
PENINGGALANNYA DI INDONESIA
A.
LAHIR DAN BERKEMBANGNYA AGAMA HINDU-BUDDHA DI INDIA
1.
LAHIR DAN
BERKEMBANGNYA AGAMA HINDU
Lahir dan berkembangnya agama Hindu-Budha
tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah
mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu dan Budha. Dari tempat
tersebut mulai menyebarkan agama Hindu-Budha ke tempat lain di dunia. Agama
Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Aria (cirinya kulit putih,
badan tinggi, hidung mancung) ke Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber
(Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung pesek,
kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah mendiami
daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti berhidung
pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Aria sendiri termasuk dalam ras
Indo Jerman. Awalnya bangsa Aria bermatapencaharian sebagai peternak kemudian
setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Aria merasa ras mereka yang
tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa
Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya.
Orang Aria mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa
(Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Aria tersebut berbaur dengan kepercayaan
asli bangsa Dravida. Oleh karena itu, Agama Hindu yang berkembang sebenarnya
merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa
Aria dan bangsa Dravida. Selain itu, istilah Hindu diperoleh dari nama daerah
asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/
Hindustan sehingga disebut agama dan kebudayaan Hindu. Terjadi perpaduan antara
budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Daerah
perkembangan pertamanya terdapat di lembah Sungai Gangga, yang disebut
Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan Hindustan (tanah milik bangsa Hindu).
Salah satu peninggalan peradaban
Mohenjodaro.
Dari peninggalan benda benda purbakala di Mohenjodaro dan
Harappa, diketahui bahwa bangsa India pada zaman dahulu telah mempunyai
peradaban tinggi. Salah satu peninggalan menarik adalah sebuah patung yang
menunjukkan perwujudan Siwa, Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan
ajaran Weda. Pada zaman ini telah dikenal penyembahan terhadap para dewa.
Perkembangan agama Hindu di India pada hakikatnya dapat
dibagi menjadi empat fase, yaitu :
1. Zaman Weda
Dimulai pada waktu kedatangan bangsa Arya di Puniab, lembah
sungai Indus, sekitar tahun 2500-1500 sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa
Dravida ke Daratan Tingg Dekkan. Bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi,
mereka menyembah dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, dan Siwa.
Meskipun dewa jumlahnya banyak, semuanya adalah manifestasi Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Zaman Brahmana
Kekuasaan kaum brahmana sangat besar terutama dalam
kehidupan keagamaan. Zaman ini ditandai dengan mulai tesusunnya “tata cara
upacara” beragama yang teratur. Penyusunan tata cara ini berdasarkan
wahyu-wahyu Tuhan yang termuat dalam Weda.
3. Zaman Upanisad
Zaman pengembangan dan penyusunan filsafat agama. Pada zaman
ini, orang berfilsafat dasar Weda dan juga muncul ajaran filsafat yang tinggi.
4. Zaman Buddha
Dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama Sidharta,
menafsirkan Weda dengan cara mengembangkan system yoga dan semadi sebagai jalan
untuk menghubungkan diri dengan tuhan.
Kitab suci
agama Hindu disebut Weda (Veda) artinya pengetahuan tentang agama. Pemujaan
terhadap para dewa-dewa dipimpin oleh golongan pendeta/Brahmana. Ajaran ritual
yang dijadikan pedoman untuk melaksanakan upacara keagamaan yang ditulis oleh
para Brahmana disebut kitab Veda/Weda yang terdiri dari 4 bagian, yaitu:
• Reg Veda,
berisi tentang ajaran-ajaran Hindu, merupakan kitab tertua (1500-900 SM)
kira-kira muncul saat bangsa Aria ada di Punjab.
• Yajur
Veda, berisi doa-doa yang dibacakan waktu diselenggarakan upacara agama, lahir
saat bangsa Aria menguasai daerah Gangga Tengah.
• Sama Veda,
berisi nyanyian puji-pujian yang wajib dinyanyikan saat diselenggarakan upacara
agama.
• Atharwa
Veda, berisi kumpulan mantera-mantera gaib, doa-doa untuk menyembuhkan
penyakit. Doa/mantra muncul saat bangsa Arya menguasai Gangga Hilir.
Hindu
mengenal pembagian masyarakat atas kasta-kasta tertentu, yaitu Brahmana,
Ksatria, Waisya dan Sudra. Pembagian tersebut didasarkan pada tugas/ pekerjaan
mereka.
• Brahmana
bertugas mengurus soal kehidupan keagamaan, terdiri dari para pendeta.
• Ksatria
berkewajiban menjalankan pemerintahan termasuk pertahanan Negara, terdiri dari
raja dan keluarganya, para bangsawan, dan prajurit.
• Waisya
bertugas berdagang, bertani, dan berternak, terdiri dari para pedagang.
• Sudra
bertugas sebagai petani/ peternak, para pekerja/ buruh/budak, merupakan para
pekerja kasar.
Di luar
kasta tersebut terdapat kasta Paria terdiri dari pengemis dan gelandangan.
Perkawinan antar kasta dilarang dan jika terjadi dikeluarkan dari kasta dan
masuk dalam golongan kaum Paria seperti bangsa Dravida. Paria disebut juga
Hariyan dan merupakan mayoritas penduduk India.
Pembagian
kasta muncul sebagai upaya pemurnian terhadap keturunan bangsa Aria sehingga
dilakukan pelapisan yang bersumber pada ajaran agama. Pelapisan tersebut
dikenal dengan Caturwangsa/Caturwarna, yang berarti empat keturunan/ empat
kasta. Pembagian kasta tersebut didasarkan pada keturunan.
2.
LAHIR DAN
BERKEMBANGNYA AGAMA BUDDHA
Arca Sidharta Gautama, tokoh
penyebar Buddha
Agama Buddha
muncul sebagai reaksi terhadap dominasi brahmana atas ajaran dan ritual
keagamaan dalam masyarakat di India. Diperkirakan agama Buddha lahir sekitar
abad V sebelum masehi. Pembawa agama Buddha adalah Sidharta Gautama (563-486
sebelum Masehi), putra Raja Sudhodana dari Kerajaan Kosala di Kapilawastu.
Untuk
mencari pencrahan hidup, Sidharta Gautama meninggalkan istana Kapilawastu
menuju hutan di Bodh Gaya. Ia bertapa di bawah pohon (semacam pohon beringin)
dan mendapatkan Bodhi, yaitu semacam
penerangan atau kesadaran yang sempurna. Pohon itu kemudian dikenal sebagai
Sang Buddha, yang artinya disinari. Peristia tersebut terjadi pada tahun 531
sebelum Masehi. Wejangan pertama Sidharta Gautama disampaikan di Taman Rusa di
Sarnath, India bagian timur laut.
Dalam ajaran
Buddha, manusia akan lahir berkali-kali (reinkarnasi). Hidup adalah samsara, menderita, dan tidak
menyenangkan. Menurut ajaran Buddha, hidup menderita disebabkan adanya tresna atau cinta, yaitu cinta
(hasrat/nafsu) akan kehidupan. Penderitaan dapat dihentikan, caranya dengan
menindas tresna melalui delapan jalan
(astawida), yaitu melaksanakan ajaran
dengan benar, niat dan bersikap benar, berkata benar, bertingkah laku benar,
hidup dengan benar, berusaha dengan benar, selalu memperhatikan, serta
bermeditasi dengan benar.
Kitab Suci agama Buddha adalah Tri Pitaka. Tri itu bermakna tiga, dan
pitaka itu bermakna bakul, tapi dimaksudkan adalah bakul hikmat. Hingga Tripitaka itu bermakna Tiga Himpunan Hikmat, yaitu;
1. Sutta Pitaka,
berisikan himpunan ajaran dan kotbah Buddha Gautama.Bagian terbesar berisi
percakapan antara Buddha dengan muridnya.Didalamnya juga termasuk kitab-kitab
tenyang pertekunan (meditasi),dan peribadatan,himpunan kata-kata
hikmat,himpunan sajak-sajak agamawi,kisah berbagai orang suci. Keseluruhan
himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam agama Buddha.
2. Vinaya Pitaka,
berisikan Pattimokkha,yakni peraturan tata hidup setiap anggota biara-biara
(sangha). Didalam himpunan itu termasuk Maha Vagga, berisikan sejarah
pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha beserta hal-hal yang berkaitan
dengan biara. Himpunan Vinaya-pitaka itu ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang
dipanggilkan dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
3. Abidharma-pitaka,
yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar dalam agama Buddha, bermakna : dhamma
lanjutan atau dhamma khusus. Berisikan berbagai himpunan yang mempunyai
nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan,berisikan pembahasan mendalam tentang
proses pemikiran dan proses kesadaran. Paling terkenal dalam himpunan itu ialah
milinda-panha (dialog dengan raja Milinda) dan pula Visuddhi maga (jalan menuju
kesucian)
B.
TEORI KEDATANGAN DAN BERKEMBANGNYA
AGAMA HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
Hingga saat ini proses masuknya agama Hindu-Buddha di
Indonesia masih diperdebatkan oleh para ahli. Pendapat yang dikemukakan oleh
beberapa ahli merupakan sebuah teori sementara yang masih memerlukan
pembuktian. Teori-teori tersebut sangat berguna dalam memberikan pemahaman
tentang proses masuk dan berkembangnya agama serta kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.
Teori tersebut dibagi menjadi 5 :
1.
TEORI SUDRA
Hanya sedikit ahli yang setuju pada teori Sudra, salah
satunya adalah Von van Feber. Inti teori ini adalah kedatangan agama Hindu di
Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta sudra. Von van Feber
mengungkap sejumlah pendapat berikut berkaitan teori ini:
a. Golongan berkasta sudra (pekerja
kasar) menginginkan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena dijadikan budak di
India, mereka pergi ke daerah lain, termasuk ke Indonesia.
b. Golongan berkasta sudra sering
dianggap orang buangan. Oleh karena itu, mereka meninggalkan daerahnya pergi ke
daerah lain , bahkan keluar dari India hingga ada yang sampai di Indonesia agar
mendapat kedudukan lebih baik dan lebih dihargai.
Teori ini menimbulkan kontroversi karena kaum sudra dianggap
tidak layak untuk menyebarkan agama Hindu. Mereka adalah kelompok bawah, kaum
budak, dan memiliki derajat terendah. Oleh karena itu, dalam urusan keagamaan,
kaum sudra tidak mungkin menyebarkan agam Hindu. Adapun bantahan para ahli terhadap teori
Sudra sebagai berikut:
a. Golongan sudra tidak menguasai
ajaran agama Hindu sebab mereka tidak menguasai bahasa Sanskerta yang digunakan
dalam kitab suci Weda.
b. Tujuan utama kaum sudra meninggalkan
India untuk mendapat penghidupan dan kedudukan yang lebih baik (memperbaiki
keadaan/kondisi mereka). Jika mereka pergi ke tempat lain, pasti untuk
mewujudkan tujuan utama mereka, bukan untuk menyebarkan agama Hindu.
2.
TEORI WAISYA
Teori waisya dikemukakan oleh N.J.Krom. Menurut N.J.Krom,
agama Hindu/Buddha masuk di Indonesia dibawa kaum pedagang yang datang dengan
tujuan berdagang. Pedagang India kemudian menetap di Indonesia dan menikah
dengan penduduk lokal. Menurut N.J.Krom, ada dua kemungkinan agama Hindu
disebarkan oleh golongan waisya :
a. Para pedagang India melakukan
perdagangan dan akhirnya sampai di Indonesia untuk berdagang. Melalui interaksi
ini, agama Hindu disebarkan pada masyarakat Indonesia.
b. Para pedagang dari India yang
singgah di Indonesia selanjutnya mendirikan pemukiman sambil menunggu angina
musim yang baik untuk membawa mereka kembali ke India. Mereka pun berinteraksi
dengan penduduk sekitar dan menyebarkan agama kepada penduduk lokal Indonesia.
Melalui interaksi dengan penduduk setempat, para pedagang
berhasil memperkenalkan agama Hindu-Buddha. Dengan begitu, kaum pedagang
memiliki peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia. Faktor yang memperkuat teori ini adalah sebagai berikut :
a. Teori Waisya mudah diterima akal karena dalam kehidupan,
faktor ekonomi menjadi sangat penting dan perdagangan merupakan salah satu
kegiatan berekonomi. Kegiatan perdagangan dianggap mempermudah para pedagang
asing untuk berinteraksi dengan orang dari berbagai daerah.
b. Terdapat Kampung Keling, yaitu perkampungan para pedagang
India di Indonesia. Kampung Keling terdapat d beberapa daerah di Indonesia,
antara lain di Jepara, Medan, Aceh, dan Malaka.
Meskipun
teori ini cukup kuat, teori ini juga memiliki sejumlah kelemahan sebagai
berikut :
a. Kaum waisya tidak menguasai bahasa Saskerta dan aksara
Pallawa. Bahasa dan aksara tersebut hanya dikuasai kaum brahmana.
b. Sebagian besar kerajaan Hindu-Buddha terletak di pedalaman.
Jadi, jika pengaruh Hindu-Buddha dibawa pedagang, tentunya kerajaan-kerajaan
tersebut terletak di daerah pesisir.
3.
TEORI KESATRIA
Ada tiga pendapat mengenai proses penyebaran kebudayaan
Hindu-Budha yang dilakukan oleh golongan ksatria, yaitu:
a. C.C. Berg menjelaskan bahwa
golongan ksatria yang turut menyebarkan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
Para ksatria India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan
kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit
banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang
bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang
kemudian dinikahkan dengan salah satu putri dari kepala suku atau kelompok yang
dibantunya. Dari perkawinannya itu, para ksatria dengan mudah menyebarkan
tradisi Hindu-Budha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Selanjutnya
berkembanglah tradisi Hindu-Budha dalam kerajaan di Indonesia.
b. Mookerji juga mengatakan bahwa
golongan ksatria dari Indialah yang membawa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ke
Indonesia. Para Ksatria ini selanjutnya membangun koloni-koloni yang berkembang
menjadi sebuah kerajaan.
c. J.L.Moens mencoba menghubungkan
proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia pada awal abad ke-5 dengan
situasi yang terjadi di India pada abad yang sama. Ternyata sekitar abad ke-5,
ada di antara para keluarga kerajaan di India Selatan melarikan diri ke
Indonesia sewaktu kerajaannya mengalami kehancuran. Mereka itu nantinya
mendirikan kerajaan di Indonesia.
Kekuatan teori Kesatria terletak
pada kenyataan bahwa semangat berpetualang pada saat itu umumnya dimiliki oleh
para kesatria (keluarga kerajaan). Semangat berpetualang yang ditunjukkan
golongan kesatria pada periode tersebut mendorong penyebaran agama dan budaya
Hindu-Buddha. Meskipun teori ini memiliki kekuatan, teori ini juga tidak
terlepas dari kelemahan berikut :
a. Golongan kesatria tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf
Pallawa yang terdapat pada kitab Weda.
b. Apabila Indonesia pernah menjadi daerah taklukan kerajaan
India, tentu ada bukti prasasti yang menggambarkan penaklukan tersebut. Akan
tetapi, baik di India maupun Indonesia tidak ditemukan prasasti semacam itu.
c. Tidak mungkin pelarian kesatria dari India mendapt kedudukan
mulia seperti raja di wilayah lain. Di Indonesia pada masa itu seseorang yang
menjadi pemimpin haruslah memenuhi syarat mempunyai kemampuan lebih tinggi
daripada yang lain.
4.
TEORI BRAHMANA
Teori ini dikemukakan oleh Jc.Van Leur yang menyatakan bahwa
agama dan kebudayaan Hindu-Budha yang datang ke Indonesia dibawa oleh golongan
Brahmana (golongan agama) yang sengaja diundang oleh penguasa Indonesia.
Pendapatnya didasarkan pada pengamatan terhadap sisa-sisa peninggalan
kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia, terutama pada
prasasti-prasasti yang menggunakan Bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa. Di
India bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan dan
hanya golongan Brahmana yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut.
Teori ini mempertegas bahwa hanya kasta Brahmana yang memahami ajaran Hindu
secara utuh dan benar. Para Brahmanalah yang mempunyai hak dan mampu membaca
kitab Weda (kitab suci agama Hindu) sehingga penyebaran agama Hindu ke
Indonesia hanya dapat dilakukan oleh golongan Brahmana.
Van Leuur juga mengungkapkan, ketika menobatkan seorang
raja, kaum brahmana pasti membawa kitab Weda ke Indonesia. Sebelum kembali ke
India, tidak jarang para brahmana meninggalkan kitab Weda sebagai hadiah bagi
raja. Kitab tersebut kemudian dipelajari oleh sang raja dan digunakan untuk
menyebarkannya.
Akan tetapi teori ini juga memiliki kelemahan antara lain :
a. Mempelajari bahasa Sanskerta sangat
sulit. Sehingga raja-raja di Indonesia yang telah mendapat kitab Weda dari kaum
brahmana dapat mengetahui isinya, bahkan menyebarkan ke orang lain.
b. Menurut ajaran Hindu kuno, seorang
Brahmana dilarang menyebrangi lautan apalagi meninggalkan tanah airnya. Jika
hal itu terjadi, ia akan kehilangan ha katas kastanya.
5.
TEORI ARUS BALIK (COUNTER-CURRENT)
Teori ini dikemukakan oleh F.D.K
Bosch yang menjelaskan peran aktif orang-orang Indonesia dalam penyebaran
kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Menurut Bosch, yang pertama kali datang ke
Indonesia adalah orang-orang India yang memiliki semangat untuk menyebarkan
Hindu-Budha. Karena pengaruhnya itu, ada di antara tokoh masyarakat yang
tertarik untuk mengikuti ajarannya. Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang
Indonesia sendiri yang pergi ke India untuk berziarah dan belajar agama
Hindu-Budha di India. Sekembalinya di Indonesia, merekalah yang mengajarkannya
pada masyarakat Indonesia yang lain.
Bukti dari teori ini adalah adanya
prasasti Nalanda yang menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya
meminta kepada raja di India untuk membangun wihara di Nalanda sebagai tempat
untuk menimba ilmu para tokoh dari Sriwijaya. Permintaan tersebut dikabulkan
oleh penguasa di India. Dengan demikian banyak tokoh dari Indonesia yang
menimba ilmu di India.
C.
PENINGGALAN-PENINGGALAN HINDU-BUDDHA
Dalam keanekaragaman warisan budaya, kita mengenal adanya
warisan budaya berupa warisan budaya benda (Tangible cultural heritage) maupun
warisan budaya tak benda (Intangible cultural heritage). Keduanya membentuk
sinergi yang sangat baik bagi kemajuan suatu bangsa. Bagaimana tidak? Ketika
sebuah bangsa memiliki serba-serbi warisan budaya yang khas dan menjadi daya
tarik tersendiri bagi bangsa asing, maka bangsa tersebut akan mendapatkan citra
sebagai bangsa adiluhung di mata dunia. Tak terkecuali bangsa kita, bangsa
Indonesia. Sungguh, keanekaragaman budaya yang dimiliki bermacam suku bangsa
yang membentang dari Sabang hingga Merauke menjadi pesona yang seolah tak pudar
dimakan usia. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
Akan tetapi di lain sisi, keanekaragaman warisan budaya bak
menjadi sebilah mata pisau yang memiliki dua mata sisi. Selain keuntungan,
tentu di balik keuntungan tersebut terselip konsekuensi yang tidak ringan.
Konsekuensinya adalah, kita sebagai bangsa Indonesia, berkewajiban untuk
menjaga bermacam warisan budaya tersebut agar tidak punah dan parahnya lagi
bila sampai direbut bangsa lain. Hal ini jangan sampai terjadi. Berikut
peninggalan budaya hindu-buddha di indonesia.
1. WARISAN BUDAYA BENDA (Tangible Cultural Heritage)
a. Puncak
Mahkota
Puncak mahkota memiliki bentuk alas melengkung seperti bulan
sabit dengan empat kuku pada bagian permukaan tengah. Puncak mahkota ditemukan
di dukuh Ngabean, desa Sawangargo, kecamatan Salaman, kabupaten Magelang,
Biasanya digunakan sebagai hiasan kepala raja.
b. Perhiasan
Telinga
Ditemukan di dukuh Kuncen, desa Koen, kecamatan Jatipura,
kabupaten Wonogiri. Bentuk dasarnya huruf “U” bercelah. Bagian ujun berupa
profil kepala naga dan dikerjakan dengan cara pengukiran. ola hias naga dalam
kesenian Indonesia kuno melambangkan kekuatan.
c. Mata Uang
Piloncito
Mata uang ini ditemkan di desa Wonoboyo, kecamatan
Jogonalan, kabupaten Klaten. Mata uang emas ini berbentuk persegi, berukuran
rata-rata 8 mm x 6 mm dengan berat rata-rata 2,5 gram. Salah satu sisinya
terdapat tulisan huruf Prenagari “Ta” (Tahil). Pada masa Jawa Kuna alat ini
digunakan untuk alat tukar yang bernilai dan biasa dibagikan oleh raja kepada
pejabat saat penetapan sima.
d. Kuwera
Arca Kuwera ditemukan di Kabupaten Klaten. Kuwera digamarkan
duduk di atas padmsana dengan sikap lalitasana, kaki bertumpu pada pundi-pundi
uang. Di belakang kepala terdapat prabha yang dilengkap payung (chattra).
Kuwera diyakin sebagai dewa kemakmuran.
e. Tiga Arca
Dhyani Buddha Satu Lapik
Tiga arca ini ditemukan di dukuh Rejoso, desa Rejoso,
Kecamatan Jogonalan, kabupaten Klaten. Arca-arca ini terdiri atas dua arca
Dhyani Aksoya dan satu arca Dhyani Budha Amithaba. Arca ini sekarang berada di
Museum Ronggowarsito Semarang dan kondisi koleksi masih terrawat baik.
f. Candi Borobudur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari
enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar
dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua
tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di
Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di
sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an
Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
g. Candi Prambanan
Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang
ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi
anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang
ingin memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan
halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam.
Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu
hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung
yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca
Batari Durga di salah satu candi.
2. WARISAN BUDAYA TAK BENDA (Intangible
Cultural Heritage)
a. Wayang Beber
Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada
masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar
kain atau kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan
urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya
beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul,
yang masih menyimpan dan memainkan wayang beber ini.
b. Gamelan Yogya
Gamelan adalah seperangkat alat musik Jawa yang terdiri dari saron, bonang,
rebab, gendang, gong, dan sebagainya. Sebagian dari alat music ini
merupakan peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha. Hal itu ditunjukkan untuk mengumpulkan rakyat yang ada di sekitar keraton,
setelah rakyat berkumpul kemudian memberikan ceramah keagamaan.
c. Sendratari
Ramayana Prambanan
Sendratari Ramayana Prambanan merupakan sebuah pertunjukan
yang menggabungkan tari dan drama tanpa dialog, diangkat dari cerita Ramayana
dan dipertunjukkan di dekat Candi Prambanan di Pulau Jawa, Indonesia.
Sendratari Ramayana Prambanan merupakan sendratari yang paling rutin
mementaskan Sendratari Ramayana sejak 1961. Pemilihan bentuk sendratari sebagai
penutur cerita pahlawan atau biasa disebut wiracarita Ramayana karena
sendratari mengutamakan gerak-gerak penguat ekspresi sebagai pengganti dialog,
sehingga diharapkan penyampaian wiracarita Ramayana dapat lebih mudah dipahami
dengan latar belakang budaya dan bahasa penonton yang berbeda
d. Tari Jathilan/jaranan
kesenian ini merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada dan
berkembang di daerah pegunungan menoreh, tepatnya di sebelah selatan candi
Borobudur. Tari ini berlatar
belakang oleh keadaan perang zaman dahulu.